Senin, 09 Juni 2008

Palungan (Tempat menyimpan Beras)

Pada saat ini,umumnya disetiap rumah-rumah, untuk memenuhi kebutuhannya persediaan beras ditempatkan pada box beras yang terbuat dari pelastik yang mudah didapat di toko-toko penjual alat rumah tangga. Namun teknik penyimpanan beras telah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum ditemukannya peralatan modern.
Palungan, itulah nama untuk penyimpanan beras pada masanya, terbuat dari kayu utuh yang dipahat sehingga berlubang, dan lubang itulah yang kemudian dipergunakan untuk penyimpanan beras. Untuk menjaga agar beras tetap awet, maka palungan tersebut dilengkapi oleh penutup yang dapat dikunci oleh sepasang pasak yang terbuat dari kayu. Untuk menjaga kesegarannya, sejak dahulu orang menambahkan beberapa lembar daun pandan wangi pada tempat penyimpanan persediaan berasnya. Ukuran palungan biasanya berkisar antara 1,5 M s/d 3 M, lebar 30 Cm dan kedalaman 40 Cm, sehingga cukup untuk menampung persediaan beras dalam jangka waktu tertentu.
Pada saat ini palungan sudah tidak dipergunakan lagi, sehingga jumlahnya semakin hari semakin sedikit, itupun sisa dari peninggalan jaman dahulu.
Bahan yang dipergunankan untuk membuat palungan adalah jenis-jenis kayu keras yang dapat bertahan sangat lama dan tahan akan gigitan serangga atau hewan pemakan biji-bijian.
Saat ini telah banyak orang yang sadar, bahwa benda-benda tersebut akan punah, sehingga mereka (para kolektor benda seni) berusaha untuk melestarikannya, sebagai bahan cerita masa kini dan masa yang akan datang.

Kentongan Sebagai Alat Komunikasi Jaman Dahulu

Pada jaman dahulu kita mengenal beberapa alat kumunikasi, seperti alat tiup dari kulit kerang untuk penduduk yang mendiami pesisir pantai; Bedug, terbuat dari kulit sapi/ kambing; untuk penduduk didaerah pedesaan dan pegunungan kita mengenalnya kentongan, terbuat dari batang kayu yang dipahat. namun alat komunikasi tradisional tersebut telah banyak digantikan oleh alat kumunikasi modern berupa telepon, baik selular maupun fixed phone.
Kentongan dibunyikan dengan cara dipukul, dibandingkan dengan alat komunikasi yang terbuat dari kulit kerang, alat komunikasi tradisional kentongan ini masih sering dipergunakan, namun demikian fungsinya telah banyak bergeser. Pada jaman dahulu bunyi-bunyian kentongan dipergunakan sebagai alat bantu untuk menyampaikan pesan bagi penduduk pedesaan, seperti pada saat adanya bencana, pencurian, kebakaran, rapat penduduk atau pertanda masuknya waktu Sholat bagi umat Islam, setiap peristiwa atau kegiatan, kentongan dibunyikan dengan pukulan yang berbeda, sehingga apabila penduduk mendengar suara kentongan, mereka akan paham pesan yang disampaikannya dari jenis bunyinya. Pada saat ini bunyi kentongan tidak lagi setandar seperti dahulu, karena kentongan ini banyak dipergunakan oleh penjual-penjual makanan keliling, dimana bunyinya disesuaikan selera masing-masing.
Banyak jenis-jenis kentongan, mulai dari yang kecil sampai yang besar dan dari yang terbuat dari bahan bambu sampai dengan bahan yang terbuat dari batang kayu jati bahkan besi (lonceng).
Pada umumnya kentongan jaman dahulu terbuat dari batang kayu jati utuh, dengan ukuran yang cukup besar (diameter 40 Cm dan tinggi 1,5 M - 2 M yang dipahat sehingga berlubang, dan dari lubang itulah bunyi-bunyian akan keluar apabila dipukul serta ditempatkan di kantor-kantor pedesaan atau di Langgar/ Surau.
Kentongan bekas peninggalan jaman dahulu yang terbuat dari kayu jati dan ukurannya seperti tersebut di atas, dapat direferensikan sebagai koleksi barang seni peninggalan budaya Indonesia yang jumlahnya sangat terbatas, biasanya menjadi barang koleksi yang dipelihara sebagai benda kuno peninggalan sejarah masa lalu.

Cikar Sebagai Alat Transportasi Kuno

Cikar merupakan alat transportasi pada jaman dahulu, jauh sebelum ditemukannya berbagai alat transportasi yang digerakan oleh mesin, dimana pada jamannya Cikar ini banyak dijumpai di daerah-daerah Indonesia, seperti Jawa lan Lombok.
Selain Cikar, kita mengenal juga alat transportasi sejenisnya seperti Delman, Sado, Dokar Dll yaitu gerobak yang ditarik oleh kuda, namun Cikar pada umumnya ditarik oleh Sapi dan dipergunakan untuk angkutan yang memuat barang atau orang.
Walau saat ini Cikar sulit untuk ditemui, namun beberapa segelintir orang, terutama di desa Cikar masih digunakan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi, terutama didaerah-daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan/ truk, karena kondisi alam yang terjal dan bebatuan. Walaupun demikian Cikar-cikar yang ada sudah tidak seperti cikar-cikar tempo dulu, terutama pada bagian roda. Tempo doeloe roda Cikar terbuat dari kayu Jati tua yang dilapisi oleh besi dengan diameter yang sangat besar untuk ukuran roda, yaitu 160 Cm, dan saat ini roda-roda tersebut digantikan oleh roda-roda yang terbuat dari ban mobil. Kerangka cikar yang ada sekarang juga terbuat dari berbagai macam kayu seperti kayu bengkirai atau kayu-kayu lain yang mempyai ketahanan dan keawetan sedangkan kerangka cikar-cikar tempo dulu terbuat dari kayu jati pilihan yang sangat kuat, terutama dari kayu jati jenis kembang dan doreng yang banyak dijumpai didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Biasanya cikar-cikar tersebut ditarik oleh dua ekor sapi gemuk, walaupun geraknya tidak selincah kuda dan cendrung sangat lambat, namun sapi-sapi ini mampu menarik beban yang sangat berat. Perlu diketahui bahwa sapi-sapi tersebut pada musim penghujan dimanfaatkan untuk menarik bajak di sawah, sedangkan pada musim kemarau disaat para petani tidak membajak sawah, maka sapi-sapi ini dimanfaatkan untuk menarik Cikar sebagai mata pencaharian sampingan para petani.
Cikar-Cikar kuno peninggalan budaya Indonesia tempo dulu sudah sangat sulit kita jumpai dan hanya bisa dijumpai pada kolektor-kolektor seni sebagai upaya pelestarian budaya asli Indonesia dengan jumlah yang sangat terbatas.
Untuk memiliki sebuah Cikar asli, para kolektor benda-benda seni tidak segan-segan mencari ke pelosok-pelosok daerah di Jawa dan Lombok, sebagai upaya melestarikan dan menjaga kepunahannya untuk ditempatkan pada gallery-gallery seni sebagai simbol/ artefak cita rasa bangsa Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian bercocok tanam.